Setelah seharian di atas bukit, berangin dingin. Ia tuntaskan matanya dengan mengedip nakal. Pamit pada ketiganya: matahari, langit dan angin.
“Terimakasih sudah temani waktuku hari ini,” ucapnya lelah.
“Kenapa kau tidak pamit padaku?” Tanya tanah heran.
“Aku masih singgah di mukamu, mana mungkin aku pamit sekarang,” terangnya pelan.
“Hai, aku temukan secarik suratan milikmu yang tertinggal di pertigaan jalan,” Sebongkah batu menghadang.
“Surat itu untukmu, anggap saja cinderamata dariku. Kapan-kapan saja aku baca jika rindu, saat ini rindu sudah mencair!” terangnya sambil tetap mengayun langkahnya.
Di sini tembok begitu tebal
Kamarnya terkucil di seberang perbukitan.
Sesekali cuma bisa menengok jendela, itu pun setelah ia cengkeram semua duka.
"Rupa tetap begini saja," keluhnya pada cermin di depanya.
"Tidak, ko! Kau makin anggun dengan kesendirianmu," timpal cermin menentramkan.
"Jejak suamiku masih belum kutemukan. Peninggalannya juga seolah ikut terkubur," jawabnya sembari memejamkan mata.
"Tetaplah cantik, karna itu adalah anugrah saat kau terlahir di sini dan harus kau ingat berbahagialah disebut perempuan," tuntas cermin.
Ahirnya Ia sampai di kamar
Tubuhnya kembali bergetar
Lemparan lembaran duka kembalikan Ia untuk mengingat suaminya.
“Ah, duka-duka kembali jadi selimut. Kenapa kau datang, suamiku hilang!!”
“Aku isi kamar, wajar jika aku tanya kapan kau kan terlentang. Rebahkan segala letih, menunggu kau sampai bangun tertatih, berdiri lagi.
Itu saja!!”
2014