Rabu, 03 Desember 2014

ISTRI SEORANG PENGEMBARA

Setelah seharian di atas bukit, berangin dingin. Ia tuntaskan matanya dengan mengedip nakal. Pamit pada ketiganya: matahari, langit dan angin.

“Terimakasih sudah temani waktuku hari ini,” ucapnya lelah.
“Kenapa kau tidak pamit padaku?” Tanya tanah heran.
“Aku masih singgah di mukamu, mana mungkin aku pamit sekarang,” terangnya pelan.

“Hai, aku temukan secarik suratan milikmu yang tertinggal di pertigaan jalan,” Sebongkah batu menghadang.

“Surat itu untukmu, anggap saja cinderamata dariku. Kapan-kapan saja aku baca jika rindu, saat ini rindu sudah mencair!” terangnya sambil tetap mengayun langkahnya.

Di sini tembok begitu tebal
Kamarnya terkucil di seberang perbukitan.
Sesekali cuma bisa menengok jendela, itu pun setelah ia cengkeram semua duka.

"Rupa tetap begini saja," keluhnya pada cermin di depanya.
"Tidak, ko! Kau makin anggun dengan kesendirianmu," timpal cermin menentramkan.

"Jejak suamiku masih belum kutemukan. Peninggalannya juga seolah ikut terkubur," jawabnya sembari memejamkan mata.

"Tetaplah cantik, karna itu adalah anugrah saat kau terlahir di sini dan harus kau ingat berbahagialah disebut perempuan," tuntas cermin.

Ahirnya Ia sampai di kamar
Tubuhnya kembali bergetar
Lemparan lembaran duka kembalikan Ia untuk mengingat suaminya.

“Ah, duka-duka kembali jadi selimut. Kenapa kau datang, suamiku hilang!!”

“Aku isi kamar, wajar jika aku tanya kapan kau kan terlentang. Rebahkan segala letih, menunggu kau sampai bangun tertatih, berdiri lagi.
Itu saja!!”

2014

Minggu, 10 Agustus 2014

Sabtu, 22 Februari 2014

Hujan Muda Di Kota Yang Luka

Cinta muda di mata situa pada catatan: Dia, Kita dan kota lestari-ada waktu sudah temukan kita yang lunta di kota ini, saat melukis do'a dengan penuh banyak tanya belum berakhir, lestari catatan ini adalah kisah dengan nyeri mengurai kata berhujan-ngeri segala erangan hari reda di papah jari tertera pada pelangi tentang rindu, penuh warni ketika hujan, saat kusemat untukmu bandu sayang, arah yang pecah itu membawa candu aku terkapar meregug diri dalam tandu rindu, mati Lestri, padapadu kemarau muda hujan rindu itu kembali ada menusuk, ayunda!! di kota ini noda darahnya, dibasuh bunda 2013

Senin, 06 Mei 2013

Matamata

di tiap celah cerah kafan membentang lantang kapan mematut rupa!! dibangkubangku, halte pajang jiwajiwa kesal di tiap celah cerah jajar panggangan mata hari kelewang sulam bayangbayang kafan membentang lantang mana roman menawanmu? cermin: berbaliklah padaku kapan mematut rupa!!

Senin, 24 Desember 2012

Selamat Datang Akhyar 041012

Yang mengikat November


Dia tidak ingin membebankan musim itu terlalu lama
dari potongan waktu
roman-roman membawa mendung itu berkumpul. Tebal

"lihat saja tumpukan cintamu"
yang mengawang diatap langit
beberapa yang rata, memasang mata penuh duka
bahu yang jadi tiang
membuat para dada awan itu tambah luas. Memelas

"bicaralah pada perindumu"
adakah itu?
seperti rumput yang daun keringnya kembali menghijau
melepas segala yang menumpu. Tuntas

"romantis"
rintik yang menebar segala cemas
menambah nada hening itu pekat
setia pada kenangan
adalah jalan kesahduan yang ditempuh

"jelaskan padaku!"
pada bidadariku, pilihan apa yang sudah ia bawa lari!
pertemukanlah sumpah-sumpah yang sudah jadi serapah
agar para dada-dada tidak terisi gumpalan sisa.

Temu Tetamu


tentang memesonanya malam
memikat kita dengan tajam cahya bintang
terikat haru didekap anggun cahya bulan

Sesekali:
merembah dimalam
keperbukitan
dibawahnya:
beningan hulu sungai
bawa akar penghidupan

tentang memesonanya malam
memikat, nikmat gelap: gugu gagap
berisak
Saat:
cahya lenyap
bulan dimusim hujan

diam
telanjangi malam
mata: adu tajam
sekali bercahya, nikmat hilang
— bersama di Catatan Waktu.